UPAYA HUKUM TERHADAP SANKSI OJK RI di BIDANG KEUANGAN

 

Upaya Hukum atas Sanksi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di Bidang Keuangan

Ronald Aror, SH.,
Co-Founder
Kantor Advokat
MNRNCO
Di Pantai Kuta-Bali.


Pendahuluan

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah lembaga independen yang berwenang mengawasi dan mengatur sektor jasa keuangan di Indonesia, termasuk perbankan, pasar modal, asuransi, dana pensiun, dan lembaga keuangan lainnya. Dalam menjalankan tugasnya, OJK memiliki kewenangan untuk memberikan sanksi administratif kepada pelaku usaha jasa keuangan yang melanggar ketentuan hukum yang berlaku.

Namun, dalam beberapa kasus, sanksi yang diberikan OJK bisa dianggap tidak sesuai atau merugikan pihak yang dikenai sanksi. Oleh karena itu, hukum di Indonesia memberikan beberapa mekanisme upaya hukum bagi pihak yang ingin mengajukan keberatan atau gugatan atas sanksi tersebut.

Jenis Sanksi yang Dapat Diberikan oleh OJK

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, OJK memiliki kewenangan untuk menjatuhkan berbagai sanksi administratif, di antaranya:

  1. Peringatan tertulis

  2. Denda administratif

  3. Pembatasan kegiatan usaha

  4. Pembekuan kegiatan usaha

  5. Pencabutan izin usaha

  6. Pelarangan bagi individu untuk menjadi pengurus atau pemegang saham di lembaga jasa keuangan

Jika seseorang atau suatu entitas dikenai sanksi oleh OJK, ada beberapa upaya hukum yang dapat dilakukan.

Upaya Hukum atas Sanksi OJK

Berikut adalah upaya hukum yang dapat ditempuh:

1. Keberatan Administratif kepada OJK

Pihak yang dikenai sanksi dapat mengajukan keberatan secara administratif kepada OJK. Proses ini bertujuan agar OJK meninjau kembali keputusan yang telah dibuat.

Dasar Hukum:

  • Pasal 50 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (sebagaimana telah diubah)

  • Peraturan OJK (POJK) terkait mekanisme penyelesaian sengketa

Proses Pengajuan Keberatan:

  1. Mengajukan surat keberatan kepada OJK dalam jangka waktu tertentu sejak sanksi dijatuhkan.

  2. Melampirkan bukti dan argumen hukum yang mendukung keberatan.

  3. OJK akan melakukan kajian ulang terhadap keputusan sanksi tersebut.

Jika keberatan diterima, sanksi dapat dicabut atau direvisi. Namun, jika keberatan ditolak, pihak yang dikenai sanksi masih dapat melakukan upaya hukum lebih lanjut.

2. Gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)

Jika keberatan administratif ditolak atau tidak memuaskan, pihak yang dikenai sanksi dapat mengajukan gugatan ke PTUN.

Dasar Hukum:

  • Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 9 Tahun 2004 dan UU No. 51 Tahun 2009.

  • Pasal 53 UU No. 9 Tahun 2004 menyatakan bahwa setiap warga negara atau badan hukum yang merasa dirugikan oleh keputusan pejabat administrasi negara berhak menggugat keputusan tersebut ke PTUN.

Prosedur Gugatan ke PTUN:

  1. Mengajukan gugatan ke PTUN dalam jangka waktu 90 hari sejak keputusan OJK diterima.

  2. Menyertakan bukti bahwa keputusan OJK dianggap tidak sah atau melanggar prosedur.

  3. Mengikuti proses persidangan di PTUN.

  4. Jika menang, PTUN dapat membatalkan keputusan OJK.

3. Penyelesaian Sengketa Melalui LAPS Sektor Jasa Keuangan

Jika kasus terkait dengan sengketa di sektor keuangan (misalnya antara individu atau perusahaan dengan lembaga keuangan), penyelesaian dapat dilakukan melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) Sektor Jasa Keuangan yang berada di bawah pengawasan OJK.

Dasar Hukum:

  • POJK No. 61/POJK.07/2020 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa Keuangan

  • UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

4. Judicial Review ke Mahkamah Agung

Jika sanksi yang diberikan OJK didasarkan pada peraturan yang dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, pihak yang dikenai sanksi dapat mengajukan judicial review (uji materiil) ke Mahkamah Agung.

Dasar Hukum:

  • Pasal 31 UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung

  • UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Kewenangan OJK dalam Menetapkan Sanksi

Berdasarkan ketentuan Pasal 9 huruf (g) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK, salah satu kewenangan OJK dalam melaksanakan tugas pengawasan adalah menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.

Di sisi lain, dalam perspektif hukum administrasi negara, keputusan OJK dalam menjatuhkan sanksi administratif dapat dikategorikan sebagai Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009.

Selain itu, dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, terdapat konsep tambahan mengenai:

  • Badan dan/atau pejabat administrasi pemerintahan,

  • Keputusan dan/atau tindakan administrasi pemerintahan, serta

  • Wewenang dan kewenangan dalam hukum administrasi negara.

Dengan demikian, keputusan yang dikeluarkan oleh OJK dapat diuji berdasarkan prinsip-prinsip dalam hukum administrasi negara, termasuk asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB).

Contoh Kasus:

Pertama terkait penyelamatan Bank Bukopin. Sejak Mei 2018 Bank Bukopin masuk dalam pengawasan intensif OJK karena permasalahan likuiditas hingga tahun 2020. Dalam rangka pemulihan OJK membuat kebijakan diantaranya memberikan perintah tertulis kepada PT. Bosowa Corporindo selaku pemegang saham Bank Bukopin agar memberikan kuasa khusus kepada Tim Technical Assistance (TA) atau bantuan teknis dari PT. Bank Rakyat Indonesia (BRI) untuk menghadiri Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) Bank Bukopin melalui Surat OJK bernomor SR-28/D03/2020 tertanggal, 9 Juli 2020. 

Namun pada kenyataannya PT. Bosowa Corporindo mengabaikan dengan tidak melaksanakan perintah tersebut, hingga kemudian OJK melaporkan Direktur Utama PT. Bosowa Corporindo ke Bareskrim Mabes Polri dan akhirnya ditetapkan sebagai tersangka. 

Kedua terkait penyelamatan AJB Bumiputera 1912 yang mengalami kesulitan pembayaran atas klaim polis asuransi nasabah yang sudah jatuh tempo. Dalam rangka kegiatan tersebut, OJK mengeluarkan perintah tertulis melalui surat No. S-13/D.05/2020 tertanggal, 16 Agustus 2020 kepada Industri Keuangan Non-bank (IKNB) termasuk Ketua Badan Perwakilan Anggota (BPA) agar AJB Bumiputera 1912 melaksanakan ketentuan Pasal 38 Anggaran Dasar yaitu harus menyelenggarakan rapat umum anggota selambatnya tanggal, 30 September 2020. 

Namun setelah batas waktu yang telah ditentukan, Ketua Badan Perwakilan Anggota (BPA) AJB Bumiputera 1912 tidak menyelenggarakan rapat umum anggota, hingga kemudian OJK melaporkannya kepada aparat penegak hukum dan berujung ditetapkannya tersangka perbuatan tindak pidana sebagaimana diatur Pasal 9 huruf (d) dan Pasal 54 Ayat (1) UU OJK atas sangkaan dengan sengaja mengabaikan perintah tertulis dari OJK tersebut.

Kesimpulan

Sanksi yang diberikan oleh OJK memiliki konsekuensi serius bagi individu atau lembaga yang terkena dampaknya. Oleh karena itu, penting untuk memahami upaya hukum yang dapat ditempuh, baik melalui keberatan administratif, gugatan ke PTUN, penyelesaian sengketa melalui LAPS, maupun judicial review ke Mahkamah Agung.

Jika Anda menghadapi sanksi dari OJK, disarankan untuk berkonsultasi dengan pengacara spesialis hukum keuangan agar dapat menyusun strategi hukum yang tepat. Dengan langkah yang benar, Anda dapat memperjuangkan hak dan kepentingan Anda sesuai dengan hukum yang berlaku.

Meskipun Undang-undang OJK memberikan instrument upaya paksa berupa ancaman pidana terhadap setiap orang yang mengabaikan perintah tertulis OJK, akan tetapi upaya paksa proses pidana tersebut seharusnya hanya digunakan apabila telah terdapat putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa perintah tersebut sah dari aspek kewenangan, prosedur dan substansi. Setelah adanya putusan PTUN yang berkekuatan hukum tetap, pelaku usaha jasa keuangan atau pihak tertentu lainnya tetap tidak melaksanakan perintah OJK tersebut.

Apabila putusan PTUN sudah berkekuatan hukum tetap dianggap lama karena harus menempuh upaya banding, kasasi hingga peninjauan kembali, maka dapat ditempuh instrument acara pemeriksaan cepat.

Upaya ini juga dapat mengesampingkan munculnya anggapan OJK sebagai lembaga “superbody”, yang melebihi kewenangan lembaga manapun dan berpotensi bertentangan dengan prinsip persamaan perlakuan dimuka hukum (equality before the law). 

Bagi para pihak yang merasa keberatan selain dari pada judicial review dapat mengajukan uji materiil terhadap Pasal 54 Ayat (1) dan (2) Undang-undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memastikan apakah pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak.

Referensi:

  1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan

  2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (sebagaimana telah diubah)

  3. Peraturan OJK No. 61/POJK.07/2020 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa Keuangan

  4. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

  5. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Post a Comment

0 Comments